Biografi Singkat Imam Hanafi
Abu Hanifah atau Imam Hanafi memiliki nama asli Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi. Ia lahir di Kufah, Irak, pada 80 H / 699 M. Nu’man kecil sering mendampingi ayahnya berdagang sutra. Tidak seperti pedagang lainnya, Nu’man memiliki kebiasaan pergi ke Masjid Kufah. Buah dari kecerdasannya, ia menghafal al-Qur’an serta ribuan hadits dalam waktu tidak terlalu lama.
Pada masa-masa belajar, Nu’man sudah terlihat kecemerlangan otaknya. Ia telah menunjukkan kecintaannya kepada ilmu pengetahuan. Utamanya hukum Islam. Nu’man sering melibatkan diri dalam dialog tentang ilmu kalam, tauhid, dan metafisika. Ia pun menghadiri kajian hadits dan periwayatannya. Di kemudian hari, ia memiliki andil besar dalam bidang ini.
Saat itu, Iraq (termasuk Kufah) disibukkan dengan tiga halaqah keilmuan. Halaqah yang membahas pokok-pokok aqidah. Halaqah tentang Hadits Rasulullah (metode dan proses pengumpulannya dari berbagai negara, serta pembahasan dari perawi dan kemungkinan diterima atau tidaknya pribadi dan riwayat mereka). Halaqah masalah fiqih dari al-Qur’an dan Hadits, termasuk membahas fatwa untuk menjawab masalah-masalah baru yang muncul saat itu, yang belum pernah muncul sebelumnya.
Setelah menjelajahi banyak bidang keilmuan, ia memilih fiqih sebagai konsentrasi kajian. Ia mulai berguru kepada salah satu Syaikh ternama di Kufah. Ia menimba ilmu darinya hingga selesai. Nu’man sangat antusias menghadiri dan menyertai gurunya. Ia terkenal banyak bertanya, berdebat, dan bersikeras mempertahankan pendapatnya. Kadang membuat gurunya kesal. Saat berusia 16 tahun, Nu’man pergi ke Makkah, menunaikan ibadah haji dan berziarah ke Madinah. Dalam perjalanan ini, ia berguru kepada tokoh tabi’in, ‘Atha’ bin Abi Rabah, ulama terbaik di kota Makkah saat itu.
Imam Hanafi adalah tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh secara sistematis. Ia menyusun berdasarkan kelompok bahasan: dari taharah, shalat, dan seterusnya. Sistematika ini kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Abu Dawud, dan Imam Bukhari.
Suatu ketika, Syaikh Hammad meminta Abu Hanifah menggantikan posisinya sebagai pengajar, pemberi fatwa, dan pengarah dialog. Saat Syaikh Hammad wafat, ia pun mengganti seutuhnya posisi sang guru. Saat itu, Abu Hanifah berusia 40 tahun. Ketenarannya pun tidak terbendung, sebagai guru dan pemberi fatwa yang mencerahkan.
Imam Abu Hanifah menciptakan suatu metode dalam berijtihad. Ia melemparkan suatu permasalahan dalam suatu forum, kemudian ia mengungkapkan pendapatnya beserta argumentasinya. Ia akan membela pendapatnya di forum tersebut dengan menggunakan dalil dari al-Qur’an dan sunnah atau pun dengan logikanya. Cara ini menggiring Abu Hanifah dikenal sebagai pencetus metode optimalisasi logika.
Metode ini, menurutnya, sangat efektif untuk merangsang logika untuk terbiasa berijtihad. Sebuah metode dalam kerangka ilmu fiqih yang kemudian dikenal dengan Madzhab Hanafi. Baginya, istinbat hukum mesti didasarkan pada tujuh hal pokok: al-Qur’an, Sunnah Rasul, fatwa sahabat, qiyas, Istihsan, Ijma’, dan ‘urf. Ia pun menulis karya-karya besar dan istimewa: al-Fiqh al-Akbar, al ‘Alim Wa al-Mutam, dan Musnad al-Fiqh al-Akbar. (Dikutip dari berbagai sumber)